Siklus
banjir besar di Jakarta terulang lagi 17 Januari lalu. Curah hujan yang tinggi
dikombinasikan dengan tanggul di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat yang
jebol membuat pusat bisnis di Ibu Kota lumpuh. Di utara Jakarta, Waduk Pluit
meluap, membuat warga di kawasan itu hingga akhir pekan ini masih
merasakan genangan air yang tak kunjung surut. Belum lagi kawasan yang dilalui
aliran Sungai Ciliwung, banjir sudah menjadi bagian hidup warga bantaran sungai
tersebut.
Jakarta,
sejak masih bernama Batavia, akrab dengan banjir. Wajar saja, Jakarta merupakan
wilayah dataran rendah seluas 650 km2. Ketinggian tanah diukur di titik
nol Tanjung Priok dari pantai sampai ke kanal banjir berkisar antara 0-10 m di
atas permukaan laut.
Sedangkan
dari batas paling selatan wilayah DKI, kanal banjir berkisar antara 5-50 m di
atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah yang
selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian selatan kanal
banjir terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75 m.
Hanya
berselang dua tahun setelah Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya
oleh Jan Pieters Z Coen, tahun 1621 kota ini mengalami banjir besar.
Selain itu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran
kota, ketika itu wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali
Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora. Tercatat banjir besar terjadi antara
lain pada tahun 1654, 1872, 1909 dan 1918.
Salah
satu bencana banjir terparah terjadi pada bulan Februari 1918. Saat itu hampir
sebagian besar wilayah terendam air. Daerah yang terparah adalah Gunung Sahari,
Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng akibat jebolnya bendungan Kali
Grogol.
Semakin
kompleksnya banjir yang terjadi, penguasa Belanda kemudian membuat Kanal Banjir
Barat pada tahun 1922. Namun, kanal ini ternyata tidak mampu menjadi solusi dan
hingga Belanda hengkang dari Indonesia, pembangunan KBB belum tuntas.
Pada
Januari 1932 lagi-lagi banjir besar melumpuhkan Kota Jakarta. Saat Indonesia
telah merdeka, tercatat beberapa banjir besar terjadi di Jakarta, seperti
pada tahun 1965, 1976, 1984, 1994, 1996, 1997, 1999, 2002, 2007 dan 2008.
Presiden
Soekarno, di tahun-tahun terakhir kekuasaannya, membentuk Komando Proyek
(Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam
waduk di sekitar Jakarta. Proyek itu dimulai setelah banjir menghantam Jakarta
pada 1965. Dibuatlah Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir
sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota.
Hasilnya
adalah pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol.
Normalisasi sungai-sungai juga dilakukan. Namun, waduk itu sebagian sudah
hilang dan ada beberapa rencana pembangunan waduk yang belum terbangun hingga
kini. Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk di kawasan Depok
namun tidak terealisasi hingga kini.
Banjir besar yang terjadi pekan lalu
menjadi peringatan bagi pemerintah pusat dan pemimpin Jakarta untuk memfokuskan
penanganan terhadap masalah banjir. Gubernur Jakarta Joko Widodo tentu saja
tidak mampu menanggung beban warisan masalah ini sendirian.
Dibutuhkan kerjasama dengan berbagai
kementerian terkait dan kepala daerah di hulu sungai Ciliwung. Jangan
mengulangi kesalahan dengan melupakan masalah banjir saat musim hujan berlalu
dan kembali berteriak-teriak saat musim hujan kembali tiba dan air kembali
menggenang. Sumber: Merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar