SELAMAT MEMBACA BERITA-BERITA TERBARU DAN TERLENGKAP

Sabtu, 26 Januari 2013

Dari Zaman Batavia Hingga Jakarta Tetap Banjir



     
      Siklus banjir besar di Jakarta terulang lagi 17 Januari lalu. Curah hujan yang tinggi dikombinasikan dengan tanggul di  Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat yang jebol membuat pusat bisnis di Ibu Kota lumpuh. Di utara Jakarta, Waduk Pluit meluap, membuat warga di kawasan itu hingga akhir pekan ini masih merasakan genangan air yang tak kunjung surut. Belum lagi kawasan yang dilalui aliran Sungai Ciliwung, banjir sudah menjadi bagian hidup warga bantaran sungai tersebut.

            Jakarta, sejak masih bernama Batavia, akrab dengan banjir. Wajar saja, Jakarta merupakan wilayah dataran rendah seluas 650  km2. Ketinggian tanah diukur di titik nol Tanjung Priok dari pantai sampai ke kanal banjir berkisar antara 0-10 m di atas permukaan laut.


            Sedangkan dari batas paling selatan wilayah DKI, kanal banjir berkisar antara 5-50 m di atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian selatan  kanal banjir terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75 m.
 
            Hanya berselang dua tahun setelah Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya oleh Jan Pieters Z Coen, tahun 1621 kota  ini mengalami banjir besar. Selain itu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, ketika itu wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora. Tercatat banjir besar terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1909 dan 1918. 

            Salah satu bencana banjir terparah terjadi pada bulan Februari 1918. Saat itu hampir sebagian besar wilayah terendam air. Daerah yang terparah adalah Gunung Sahari, Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng akibat jebolnya bendungan Kali  Grogol.

            Semakin kompleksnya banjir yang terjadi, penguasa Belanda kemudian membuat Kanal Banjir Barat pada tahun 1922. Namun, kanal ini ternyata tidak mampu menjadi solusi dan hingga Belanda hengkang dari Indonesia, pembangunan KBB belum tuntas. 

            Pada Januari 1932 lagi-lagi banjir besar melumpuhkan Kota Jakarta. Saat Indonesia telah merdeka, tercatat beberapa banjir  besar terjadi di Jakarta, seperti pada tahun 1965, 1976, 1984, 1994, 1996, 1997, 1999, 2002, 2007 dan 2008.
 
            Presiden Soekarno, di tahun-tahun terakhir kekuasaannya, membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Proyek itu dimulai setelah banjir menghantam Jakarta pada  1965. Dibuatlah Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota.  

            Hasilnya adalah pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Normalisasi sungai-sungai juga  dilakukan. Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada beberapa rencana pembangunan waduk yang belum terbangun hingga kini. Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk di kawasan Depok namun tidak terealisasi hingga kini.
 
Banjir besar yang terjadi pekan lalu menjadi peringatan bagi pemerintah pusat dan pemimpin Jakarta untuk memfokuskan penanganan terhadap masalah banjir. Gubernur Jakarta Joko Widodo tentu saja tidak mampu menanggung beban warisan masalah ini sendirian.
 
Dibutuhkan kerjasama dengan berbagai kementerian terkait dan kepala daerah di hulu sungai Ciliwung. Jangan mengulangi kesalahan dengan melupakan masalah banjir saat musim hujan berlalu dan kembali berteriak-teriak saat musim hujan kembali tiba dan air kembali menggenang. Sumber: Merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG................TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG..............TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG